Tidak Pernah ke Lokasi, Andi Firgi Nilai Media Salah Sasaran, Tantang Uji Etik Pers

                                                                    (Dok.Logo AWPI)

Pontianak,harian62.info - 

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (DPD AWPI) Kalimantan Barat, Andi Firgi, angkat bicara keras menanggapi polemik pemberitaan sebuah media online yang dinilai tidak pernah melakukan peliputan langsung ke lokasi, namun berani membangun narasi dan melempar “tantangan hukum” kepada jurnalis serta tim monitoring.

                                                    (Dok.Andi Firgi Ketua DPD AWPI Kalbar)      

Menurut Andi Firgi, sikap tersebut bukan hanya salah sasaran, tetapi juga mencerminkan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, karena berita disusun tanpa verifikasi lapangan, tanpa kerja jurnalistik faktual, dan cenderung menggiring opini untuk mengaburkan substansi persoalan.

                                                     (Dok.Wartawan Media Kalimantan Post)

Pernyataan itu disampaikan Andi Firgi saat diwawancarai awak media di Bandara Supadio Pontianak, di sela agenda keberangkatannya menuju Jakarta untuk menjalankan agenda organisasi tingkat nasional.


“Media yang bersangkutan tidak pernah turun ke lokasi, tidak melakukan cek fakta langsung, namun berani membangun framing dan bahkan menantang jurnalis ke ranah hukum. Ini bukan praktik pers yang sehat, ini pelanggaran prinsip dasar jurnalistik,” tegas Andi Firgi.


Ia menilai, persoalan yang seharusnya diselesaikan melalui hak jawab dan koreksi faktual, justru dipelintir menjadi narasi normatif yang mempertanyakan legitimasi kerja jurnalistik pihak lain. Tindakan tersebut, menurutnya, telah menyimpang dari fungsi pers sebagaimana diatur dalam UU Pers.


“Ketika hak jawab tidak digunakan untuk meluruskan fakta, melainkan untuk menyerang profesi wartawan lain dan membangun narasi kewilayahan yang menyesatkan, maka itu sudah keluar dari koridor hukum pers,” ujarnya.


Andi Firgi menegaskan bahwa UU Pers tidak mengenal pembatasan wilayah liputan wartawan, baik berdasarkan struktur organisasi, domisili, maupun jabatan. Wartawan bukan aparatur birokrasi yang terikat peta administratif, melainkan subjek hukum yang menjalankan fungsi kontrol sosial atas mandat undang-undang.


Prinsip tersebut dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945, serta ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers serta hak wartawan untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi tanpa pembatasan wilayah.


“Tidak ada satu pun norma dalam UU Pers yang melegalkan pembatasan liputan berbasis kewilayahan organisasi. Narasi semacam itu bukan hanya keliru, tetapi berpotensi merusak demokrasi dan kebebasan pers,” tegasnya.


Lebih jauh, Andi Firgi mengkritisi keras pernyataan media online tersebut yang mempersilakan Tim Monitoring AWI Pontianak membawa persoalan ke ranah hukum. Menurutnya, pernyataan tersebut keliru secara hukum dan menyesatkan secara etik.


“Media dan jurnalis bukan pelaku usaha, bukan pemegang izin, dan bukan pihak yang menjalankan atau mengambil keuntungan dari aktivitas yang diduga ilegal. Mengarahkan tantangan hukum kepada jurnalis adalah bentuk pengaburan tanggung jawab,” katanya.


Ia menegaskan, jika memang terdapat dugaan aktivitas ilegal, maka yang seharusnya diuji dan bertanggung jawab secara hukum adalah pelaku usaha dan pengendali utamanya, bukan wartawan yang menjalankan fungsi pengawasan publik.


“Yang dibawa ke ranah hukum itu perbuatannya, bukan pemberitaannya. yang diuji adalah pelaku usahanya, bukan jurnalisnya. Jika setiap liputan investigatif dihadapkan pada ancaman hukum, itu bukan kebebasan pers, melainkan intimidasi terselubung,” tegas Andi Firgi.


Dalam konteks hukum pers, lanjutnya, media hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas produk jurnalistiknya melalui mekanisme hak jawab, hak koreksi, atau pengaduan ke Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Pers, bukan melalui tekanan opini atau tantangan hukum yang salah alamat.


Di akhir pernyataannya, Andi Firgi menyarankan secara terbuka agar penulis dan pengelola media online tersebut memperdalam pemahaman terhadap UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, sebelum melontarkan kritik yang justru memperlihatkan kelemahan konseptual.


“Jika tulisan seperti itu dibaca oleh insan pers senior atau akademisi jurnalistik, yang muncul bukan perdebatan substantif, tetapi senyum reflektif, karena terlihat jelas miskinnya pemahaman terhadap hukum pers,” ujarnya.


Ia menegaskan bahwa kritik yang tidak berbasis hukum dan etika justru mencederai marwah pers itu sendiri serta menurunkan kualitas diskursus publik. Andi Firgi mengajak seluruh insan media untuk menjaga profesionalisme, meningkatkan literasi hukum pers, dan tidak menjadikan media sebagai alat pengaburan tanggung jawab.


“Semoga polemik ini menjadi pelajaran bersama. Pers harus dewasa, beradab, dan taat hukum — bukan asal menulis tanpa turun ke lapangan,” pungkasnya.


(Bsg/Tim)

0 Komentar

KLIK DISINI untuk bergabung