Batam,harian62.info -
Polemik permintaan uang jaminan (DP) sebesar Rp2,5 juta oleh Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK) Batam kepada pasien Unit Gawat Darurat (UGD) terus menuai kecaman publik. Kasus yang kini viral itu mencuat setelah dana jaminan yang dijanjikan akan dikembalikan tak kunjung direalisasikan, meski kepesertaan BPJS pasien telah aktif satu hari kemudian.
Merasa dipermainkan, pasien dan keluarga akhirnya melapor ke tokoh RW setempat dan meminta bantuan anggota DPRD Kota Batam. Aduan itu membuka fakta yang memantik kemarahan masyarakat: pelayanan medis darurat diduga dipersyaratkan dengan uang.
Ketua Umum Yayasan Bergerak Kita Peduli (BKP), Galvaridho, A.P, SH, MSc, angkat bicara keras. Ia menegaskan bahwa praktik meminta DP kepada pasien gawat darurat tidak hanya melanggar etika, tetapi berpotensi melanggar hukum pidana.
“Dalam kondisi gawat darurat, rumah sakit tidak boleh menolak pasien atau meminta uang jaminan dalam bentuk apa pun. Ini bukan tafsir, tapi perintah undang-undang,” tegas Galvaridho, Kamis (18/12/2025).
Galvaridho menekankan, kewajiban tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 29 huruf f dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, serta Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bahkan, Pasal 32 UU No. 36 Tahun 2009 secara eksplisit menyebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
“Tidak ada alasan BPJS tidak aktif, tidak ada alasan administrasi. Nyawa pasien harus diselamatkan terlebih dahulu,” ujarnya.
Menurut Galvaridho, kewajiban memberi pertolongan juga melekat pada tenaga kesehatan secara individual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Penundaan atau pembiaran akibat urusan biaya dapat berujung pada sanksi pidana.
Ia mengingatkan bahwa Pasal 190 UU Kesehatan mengatur ancaman pidana dan denda bagi pimpinan rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak pasien dalam keadaan darurat.
“Kalau ada pasien gawat darurat dipersulit karena uang, maka itu sudah masuk ranah pidana. Aparat penegak hukum tidak boleh menutup mata,” katanya.
Galvaridho juga menyoroti fakta bahwa meski BPJS pasien aktif satu hari kemudian, uang jaminan tetap tidak dikembalikan, hingga keluarga harus mengadu ke RW dan DPRD. Kondisi ini, menurutnya, memperkuat dugaan adanya praktik yang merugikan pasien.
“Kalau uang itu benar-benar jaminan sementara, mengapa tidak langsung dikembalikan? Publik berhak curiga,” ujarnya.
Atas dasar itu, BKP menyatakan siap mendampingi pihak korban (pasien) untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, apabila dugaan pelanggaran tidak ditindaklanjuti secara transparan dan adil.
“Kami siap mengawal korban. Hak pasien harus ditegakkan. Rumah sakit tidak boleh berada di atas hukum,” tegas Galvaridho.
Kasus RSBK kini menjadi ujian serius bagi penegakan hukum kesehatan di Batam. Publik menanti: apakah negara hadir melindungi pasien, atau justru membiarkan praktik yang menjadikan uang sebagai syarat keselamatan nyawa.
(MRW)

0 Komentar