Karimun,harian62.info -
Pulau Sebaik, Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun, kembali jadi contoh nyata kerusakan lingkungan akibat tambang pasir darat yang tak terkendali. Pulau seluas sekitar 70 hektare itu nyaris tenggelam saat air pasang, dengan permukaan gundul dan rusak parah.
Kerusakan parah ini merupakan warisan praktik penambangan berlebihan pada awal 2000-an oleh sejumlah perusahaan, termasuk PT SCR. Meski izin resmi sudah habis, perusahaan tetap beroperasi dengan dasar dispensasi dari Dinas Pertambangan Kabupaten Karimun. Dampaknya, sebagian besar ekosistem pulau rusak, hingga akhirnya kasus ini menyeret para penanggung jawab perusahaan ke meja hijau.
Dua dekade berlalu, regulasi pemerintah terkait pasir laut dan sedimentasi diperketat. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 menegaskan pemanfaatan pasir laut hanya untuk reklamasi, infrastruktur, dan ekspor setelah kebutuhan domestik terpenuhi. Ketentuan ini diperkuat Permendag Nomor 20 dan 21 Tahun 2024 yang membatasi jenis pasir yang boleh diekspor dan mewajibkan eksportir memiliki status resmi serta laporan surveyor.
Namun, pertengahan 2025, Mahkamah Agung membatalkan sejumlah pasal terkait ekspor pasir laut karena dianggap bertentangan dengan UU Kelautan 2014 dan berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis.
Kasus Pulau Sebaik menegaskan satu fakta: pulau kecil dan ekosistem pesisir sangat rentan dieksploitasi. Pemerintah pusat dan daerah diingatkan untuk lebih tegas mengawasi pertambangan, menegakkan hukum, dan menempatkan keberlanjutan lingkungan di atas kepentingan sesaat. Tanpa langkah konkret, tragedi seperti Pulau Sebaik bisa terulang di pulau-pulau kecil lainnya.
(MRW)
0 Komentar