Terungkap Suap Rp40 Miliar Libatkan Hakim hingga Panitera, Vonis Onslag Lepaskan Tiga Korporasi CPO

JAKARTA,harian62.info -

Tiga hakim yang mengadili dan memeriksa kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) berujung vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi yang didakwa menerima suap hingga Rp 21,9 miliar. Djuyamto yang menjabat ketua majelis hakim disuap senilai Rp 9,5 miliar. Sementara itu, dua hakim anggota, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.


Selain tiga hakim, pihak korporasi juga menyuap Eks Ketua PN Jaksel yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus, Muhammad Arif Nuryanta, dan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.


Arif diketahui menerima uang suap senilai Rp 15,7 miliar, sementara Wahyu menerima Rp 2,4 miliar.



Jika ditotal, lima terdakwa ini menerima suap senilai Rp 40 miliar dari pihak korporasi. “(Uang suap diterima) padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” ujar salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).


Tawaran Rp 20 miliar di awal Sejumlah skema telah disiapkan oleh pihak pengacara sebelum berkas perkara tiga korporasi, Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group, dilimpahkan ke pengadilan. Salah satu skema yang hendak diterapkan adalah membebaskan pihak korporasi sebelum proses pembuktian dimulai. Hal ini bisa tercapai jika eksepsi para terdakwa diterima hakim.



Untuk menjalankan skema ini, salah satu pengacara korporasi, Ariyanto, meminta Wahyu Gunawan untuk menanyakan soal nama majelis hakim yang akan mengadili perkara korporasi CPO.


Wahyu yang merupakan panitera di PN Jakut menjadi perpanjangan tangan Ariyanto.



Ia pun menemui Djuyamto untuk menyampaikan pesan dari pihak korporasi. Dua pejabat pengadilan ini bertemu di Lippo Mall Kemang pada Februari 2024. Saat itu, berkas perkara korporasi CPO belum dilimpahkan ke PN Jakpus.



Namun, dalam pertemuan itu, pihak korporasi telah meminta Djuyamto agar bisa mengabulkan eksepsi permohonan. Wahyu pun menyinggung soal Rp 20 miliar yang telah disiapkan pihak korporasi agar eksepsi ini dikabulkan. “Saat itu, Wahyu Gunawan (terdakwa kasus terpisah) menyampaikan permintaan Ariyanto yang menawarkan uang sebesar Rp 20 miliar kepada Djuyamto untuk mengabulkan eksepsi dari pihak Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dalam perkara korupsi korporasi minyak goreng,” ujar JPU, saat membaca dakwaan. Saat itu, Djuyamto belum menjanjikan apapun.



Ia meminta agar dapat membaca eksepsi lebih dahulu sebelum memberikan keputusan. Masih di bulan Februari 2024, Wahyu kembali menemui Djuyamto untuk menyerahkan berkas konsep eksepsi yang bakal diajukan pihak korporasi. Satu minggu kemudian, keduanya kembali bertemu. Kali ini di Lobby Apartemen Pakubuwono View.



Djuyamto mengatakan, permohonan eksepsi dari korporasi ini tidak dapat dikabulkan. Ia pun mengarahkan Wahyu agar ia berkoordinasi dengan Arif Nuryanta.



“M Arif Nuryanta yang menunjuk Majelis Hakim perkara korupsi korporasi minyak goreng sehingga semua arahan melalui terdakwa M Arif Nuryanta,” kata JPU, membacakan pernyataan Djuyamto saat itu.



Pesan ini diteruskan Wahyu kepada Ariyanto, dan sejumlah negosiasi pun terjadi hingga akhirnya para terdakwa menerima suap Rp 40 miliar dan perusahaan dibebaskan dari tuntutan pidana alias onslag.



Klaim uang suap dikembalikan Agam Syarif Baharudin yang dakwaannya dibacakan setelah Djuyamto, mengaku telah mengembalikan uang suap Rp 6,2 miliar yang pernah diterimanya. Hal ini disampaikan oleh pengacaranya kepada majelis hakim sesaat sebelum sidang ditutup.



“Terkait ada pengembalian dana dari terdakwa sendiri (Agam) ke Kejaksaan,” ucap salah satu pengacara di dalam persidangan. Dalam persidangan, pengacara Agam tidak menyebutkan kapan pengembalian uang suap ini diserahkan. Kemudian, sesaat setelah keluar ruang sidang, Agam sendiri sempat memberikan keterangan kepada awak media.



Ia mengaku uang suap ini telah dikembalikannya ke Kejaksaan.



“Semua sudah (dikembalikan),” ujar Agam, saat ditemui usai sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025). Selain Agam, dua terdakwa lainnya juga diketahui telah mengembalikan sebagian uang suap yang sudah mereka terima. Pada Rabu (11/6/2025), Djuyamto diketahui mengembalikan uang senilai Rp 2 miliar kepada Kejaksaan Agung.



Dalam kasus ini, Djuyamto diketahui menerima suap hingga Rp 9,5 miliar. Kemudian, Kamis (19/6/2025), Arif Nuryanta diketahui mengembalikan uang senilai Rp 6,9 miliar ke Kejaksaan Agung meski suap yang diterimanya mencapai Rp 15,7 miliar.



Dalam kasus ini, hakim hingga panitera PN menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar.



Pemberian dilakukan sebanyak dua kali. Pemberian pertama terjadi sekitar bulan Mei 2024. Saat itu, Ariyanto mendatangi rumah Wahyu sambil membawa uang tunai 500.000 Dollar Amerika atau setara Rp 8 miliar. Uang ini kemudian dibagi kepada para terdakwa dengan jumlah yang berbeda-beda.



Arif mengambil bagian senilai Rp 3,3 miliar. Kemudian, Djuyamto selaku hakim ketua mengambil sebanyak Rp 1,7 miliar.



Sementara itu, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin yang merupakan hakim anggota menerima Rp 1,1 miliar. Adapun, Wahyu juga “kecipratan” uang senilai Rp 800 juta.



Uang total Rp 8 miliar ini Arif bagikan kepada majelis hakim pada Juni 2024. Ia menyebutkan, uang ini sebagai titipan agar majelis membaca berkas secara saksama. “Ada titipan dari sebelah untuk baca berkas,” ujar salah satu Jaksa meniru omongan Arif. Lalu, pada Oktober 2024, Ariyanto kembali menyerahkan sejumlah uang kepada Wahyu untuk diteruskan kepada para hakim.



Saat itu, Ariyanto menyerahkan uang tunai senilai 2 juta dollar AS atau setara Rp 32 miliar. Uang diberikan agar majelis hakim PN Jakpus memberikan vonis onslag atau vonis lepas kepada tiga korporasi yang tengah berperkara. Tidak lama setelah diterima oleh Wahyu, uang ini juga dibagikan kepada yang lain.



Arif menerima Rp 12,4 miliar. Kemudian, Djuyamto mengambil Rp 7,8 miliar. Sementara itu, Ali dan Agam masing-masing mendapat Rp 5,1 miliar.



Lalu, Wahyu menerima Rp 1,6 miliar. Jika ditotal, dari dua kali pemberian ini, hakim hingga panitera menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar. Rinciannya, Arif menerima Rp 15,7 miliar, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar; Ali dan Agam masing-masing menerima Rp 6,2 miliar, sementara Wahyu menerima Rp 2,4 miliar.



Sumber : Kompas.Com

0 Komentar

KLIK DISINI untuk bergabung