Peredaran Bebas Tramadol dan Hexymer di Bekasi Marak, BNN Ingatkan Bahaya dan Sanksi Hukum


Bekasi,harian62.info - 

Tramadol dan Hexymer merupakan sejenis obat keras yang termasuk dalam obat daftar G atau dalam bahasa Belanda disebut Gevaarlijk yang artinya berbahaya, menurut keputusan menteri kesehatan no.02396/A/SK/VIII/1989 pasal 2 obat keras tercantum dengan jelas tanda khusus pada bungkus luarnya dan menurut keputusan menteri kesehatan no. 197/A/SI/1977 dimana kemasan obat keras tertera tulisan berupa "Harus dengan resep dokter".



Tramadol termasuk dalam kategori obat analgesik apioid yang bekerja di sistem saraf pusat untuk mengubah persepsi dan respon tubuh terhadap rasa sakit, jika digunakan dalam jangka waktu yang lama bisa menyebabkan ketergantungan mental atau fisik .Akan tetapi Badan Narkotika Nasional (BNN)


Mengungkapkan bahwa obat daftar G berpotensi menjadi narkotika jenis baru ( New psychoactive substances) yang dimanfaatkan sindikat untuk berlindung dari jeratan hukum narkotika.Obat ini sering kali disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab sebagai alat menciptakan halusinasi.


Obat keras ini dijual bebas dibeberapa toko oleh para oknum yang tidak bertanggungjawab.Untuk mengelabui aparat penegak hukum toko-toko tersebut berkamuflase dengan berbagai modus, ada yang menyerupai toko seluler, menyerupai toko kelontong, jamu tradisional, kosmetik dan lain-lain.Omset yang didapat cukup fantastis mencapai jutaan rupiah dalam sehari.Biasanya toko berkedok tersebut berjualan sejak pagi hingga malam hari, harganyapun sangat terjangkau hingga kalangan bawah.Tramadol dan Hexymer yang dijual bebas sangat mudah didapat tanpa harus repot menggunakan resep dokter dan sebagian besar pembelinya dari karyawan pabrik, pekerja proyek, pengamen jalanan bahkan sampai kepada petani.


Keberadaan toko penjual obat keras tersebut tersebar dengan terorganisir, sistematis dan masif.


Pemerintah Republik Indonesia melalui UU no.36 tahun 2009 tentang kesehatan mengatur dan mengontrol terhadap peredaran obat keras tersebut.Dalam pasal 197 menyebutkan "Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana yang dimaksud pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 ( satu miliar lima ratus juta rupiah)", adapun pasal 106 ayat (1) menyebutkan " Sediaan farmasi atau alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar".


Dalam UU no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 62 ayat (1) Jo pasal 8 ayat (1) menyebutkan " Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf A,b,c,e ayat (2) dan pasal 18 diancam dengan pidana 5 tahun penjara dan denda paling banyak 2 miliar".


Sinergitas pemerintah daerah, aparatur negara TNI-POLRI, Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama tokoh masyarakat, tokoh ormas/LSM, tokoh agama, majelis ta'lim pengajian ibu-ibu serta seluruh elemen masyarakat harus bisa bersinergi mencegah dan memberantas peredaran obat keras tersebut.Sehingga tercipta lingkungan yang sehat, bebas dari narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya agar generasi penerus bangsa sehat dan berpikiran maju.


(Rohim) Kabiro

0 Komentar

KLIK DISINI untuk bergabung