Proyek Jalan TPA Wonosari Rp400 Juta Diduga Bermasalah, LEGARI Desak Kejati Kalbar Turun Tangan

Singkawang,harian62.info -

Proyek pembangunan jalan menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Jalan Wonosari Pajintan, Kecamatan Singkawang Timur, Kota Singkawang, yang menggunakan anggaran APBD-P sebesar Rp 400 juta, kini menjadi sorotan tajam. Jalan yang baru rampung dalam hitungan bulan tersebut telah menunjukkan kerusakan dini, seperti pengelupasan aspal, penyusutan permukaan, hingga retakan, yang mengindikasikan pengerjaan tidak memenuhi standar teknis perkerasan jalan.


Temuan lapangan memperkuat dugaan tersebut. Sejumlah pekerja terlihat bekerja tanpa Alat Pelindung Diri (APD) atau standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), yang merupakan kewajiban sebagaimana diatur UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Selain itu, papan informasi proyek tidak ditemukan di lokasi, sehingga bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik dan Permen PUPR No. 14/2020 mengenai kewajiban transparansi kegiatan yang dibiayai negara.


Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai fungsi konsultan pengawas. Sebagai pihak yang dibiayai menggunakan uang negara untuk menjamin kualitas dan keselamatan proyek, pengawas seharusnya bertindak tegas ketika terjadi pelanggaran. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan adanya pembiaran, mulai dari pekerja tanpa K3, tidak adanya papan proyek, hingga dugaan kualitas aspal yang tidak sesuai spesifikasi. Kondisi tersebut berpotensi menjerumuskan pihak pengawas pada dugaan kelalaian yang dapat dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP maupun ketentuan dalam UU Tipikor apabila terbukti menimbulkan kerugian negara.


Ketua Lembaga Anti Rasua Indonesia (LEGARI), Agoes Hidayat, memberikan pernyataan tegas terkait temuan tersebut. Ia menilai indikasi yang muncul bukan hanya pelanggaran teknis, namun dapat menjadi tanda awal adanya penyimpangan anggaran.


“Jalan baru selesai beberapa bulan, tetapi sudah rusak. Pekerja tanpa K3, papan proyek tidak ada, dan pengawas diam. Ini bukan masalah kecil. Dalam banyak kasus, pola seperti ini menjadi pintu masuk dugaan penyimpangan. Ada indikasi serius pelanggaran administrasi, pelanggaran spesifikasi, dan potensi tindak pidana korupsi,” tegas Agoes.


Ia juga menekankan bahwa standar mutu dan keselamatan adalah kewajiban hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 86 UU Jasa Konstruksi. Minimnya transparansi publik bahkan dapat menjadi tanda bahwa pekerjaan tidak diawasi secara benar.


 “Jika hal mendasar seperti transparansi saja tidak dipenuhi, itu menunjukkan ada sesuatu yang disembunyikan atau minimal tidak diawasi sebagaimana mestinya,” tambahnya.


LEGARI mendesak Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat untuk turun langsung melakukan penyelidikan awal. Agoes menilai penggunaan dana publik senilai Rp 400 juta tidak boleh dikelola tanpa pengawasan ketat.


“Kami meminta Kejati Kalbar segera mengambil langkah. Jangan tunggu kerusakan makin parah dan anggaran kembali digelontorkan. Jika ada penyimpangan, siapa pun yang terlibat harus bertanggung jawab mulai dari pelaksana, pengawas, hingga pejabat terkait,” ujarnya.


Agoes juga menegaskan bahwa apabila ditemukan pengurangan volume, penggunaan material tidak sesuai spesifikasi, mark-up, atau kelalaian pengawasan yang menimbulkan kerugian negara, maka hal itu dapat dijerat melalui Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar. Sementara itu konsultan pengawas dan kontraktor dapat dikenai sanksi administrasi berupa pencabutan izin, blacklist, hingga tuntutan ganti rugi.


Di akhir pernyataannya, AGOES menegaskan komitmen LEGARI untuk mengawal kasus ini.


“Kami siap menyerahkan dokumen dan bukti pendukung kepada penegak hukum. Publik berhak tahu, dan negara tidak boleh dirugikan. Proyek pemerintah wajib transparan, wajib sesuai spesifikasi, dan wajib diawasi. Jika itu diabaikan, maka hukum harus bergerak,” tutupnya.



(Icha)

0 Komentar

KLIK DISINI untuk bergabung