Aceh Utara,harian62.info -
Rencana perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 10 atas nama PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I) di Kecamatan Cot Girek dan Pirak Timu menuai kecaman keras dari masyarakat. Mereka menilai langkah tersebut mencederai hukum dan keadilan, karena dilakukan di tengah konflik agraria yang belum diselesaikan secara sah dan transparan.
Langkah ini diketahui setelah Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh mengeluarkan Surat Undangan Pemeriksaan Lapangan dan Sidang Panitia Pemeriksaan Tanah B Nomor B/151/UND-11.HP.02.02/XI/2025 tertanggal 6 November 2025. Surat itu ditujukan kepada sejumlah pejabat tinggi termasuk Bupati Aceh Utara, Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, hingga Camat Cot Girek dan Pirak Timu untuk menghadiri pemeriksaan lapangan pada 10–13 November 2025.
Padahal, masyarakat Cot Girek menegaskan bahwa tanah yang dimohonkan perpanjangan HGU tersebut masih dalam status sengketa antara warga dan PTPN I.
Masyarakat: “BPN Aceh Jangan Jadi Alat Perusahaan” Warga Cot Girek menilai langkah BPN Aceh sebagai bentuk keberpihakan terang-terangan terhadap korporasi negara, yang justru memperpanjang penderitaan rakyat di daerah konflik.
“Ini pelecehan terhadap proses hukum dan pengkhianatan terhadap rakyat. Konflik lahan dengan PTPN belum pernah diselesaikan secara tuntas. Tapi BPN malah memproses perpanjangan HGU seolah tanah ini tidak bermasalah,” tegas salah satu perwakilan warga Cot Girek, Jumat (7/11/2025).
Mereka menilai BPN melanggar asas “clear and clean” yang merupakan syarat mutlak dalam setiap penerbitan dan perpanjangan hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA);
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha; serta Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Perpanjangan Hak Atas Tanah.
“Kalau tanah masih konflik, seharusnya tidak bisa diperpanjang. Ini jelas melanggar hukum. BPN Aceh jangan jadi alat perusahaan untuk melegalkan penindasan,” tambahnya.
Konflik Lama yang Belum Selesai
Konflik lahan di Cot Girek bukan persoalan baru. Warga sudah puluhan tahun memperjuangkan tanah garapan mereka yang berada dalam wilayah konsesi HGU PTPN I.
Bahkan, sejumlah makam leluhur dan situs pemakaman masyarakat pernah dirusak saat pembukaan lahan oleh perusahaan. Kasus ini telah dilaporkan ke berbagai instansi, namun tak pernah ditindak tegas.
Dalam rapat resmi di ruang Bupati Aceh Utara beberapa waktu lalu, pemerintah daerah bersama masyarakat dan perwakilan perusahaan telah sepakat bahwa penyelesaian konflik akan diserahkan kepada tim independen. Namun, tanpa menunggu hasil kerja tim tersebut, BPN justru melanjutkan proses administratif perpanjangan HGU.
“Ini pelecehan terhadap hasil kesepakatan rapat di kantor Bupati Aceh Utara. Kalau pemerintah daerah sudah setuju diselesaikan lewat tim independen, seharusnya BPN menghormati itu, bukan melangkahi kesepakatan,” ujar seorang tokoh masyarakat.
Tuntutan Warga: Batalkan Proses, Buka Dokumen HGU
Atas dasar itu, masyarakat Cot Girek menuntut:
1. BPN Provinsi Aceh menghentikan seluruh proses perpanjangan HGU Nomor 10 sampai konflik agraria terselesaikan secara hukum dan sosial.
2. Membuka dokumen HGU PTPN I secara publik, termasuk peta bidang, luas, dan status perpanjangan, agar masyarakat mengetahui batas-batas sebenarnya.
3. Membentuk tim independen penyelesaian konflik sebagaimana kesepakatan di tingkat kabupaten.
4. Meminta Presiden RI dan Kementerian ATR/BPN Pusat turun tangan mengawasi potensi pelanggaran hukum di balik proses perpanjangan ini.
BPN Dituntut Tegakkan Prinsip Keadilan Agraria
Langkah BPN Aceh yang dinilai terburu-buru memperpanjang HGU PTPN I menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menjalankan reforma agraria yang berkeadilan.
“Jika negara berpihak kepada korporasi dan menutup mata terhadap penderitaan rakyat, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pertanahan akan runtuh,” ujar salah satu aktivis tani Cot Girek.
Masyarakat Cot Girek berjanji akan melawan segala bentuk legalisasi perpanjangan HGU yang cacat hukum, baik melalui jalur hukum maupun aksi damai.
🟣 Catatan Redaksi:
Proses perpanjangan HGU bukan hanya urusan administratif, melainkan juga menyangkut hak hidup ribuan warga yang bergantung pada tanah tersebut. Pemerintah dituntut hadir sebagai pengayom, bukan sekadar pemberi izin. Prinsip “tanah untuk rakyat” sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, seharusnya menjadi dasar setiap kebijakan pertanahan di negeri ini.
(BS)

0 Komentar