Jakarta,harian62.info -
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 berujung pada insiden kekerasan di Jakarta dan Semarang.
Amnesty International Indonesia mengecam kekerasan yang terjadi pada aksi tersebut, yang menurut mereka menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih terus menjalankan praktik otoriter dengan membungkam kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menilai kekerasan yang terjadi merupakan bukti nyata dari pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlangsung di Indonesia.
Ia menambahkan, "Ini adalah bukti bahwa pemerintah Indonesia terus melakukan praktik-praktik otoriter. Kekerasan terhadap buruh dan tindakan represif lainnya adalah indikasi jelas bahwa kebebasan berekspresi dan berkumpul masih dibatasi."
Kekerasan di Jakarta
Di Jakarta, unjuk rasa yang dilakukan oleh Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) di depan Gedung DPR/MPR RI berakhir ricuh.
Aksi buruh yang dimulai dengan pembakaran ban pada pukul 14.33 WIB itu memicu ketegangan antara massa dan aparat kepolisian.
Saat polisi berupaya untuk memadamkan api, bentrokan fisik pun tak dapat dihindari. Beberapa anggota polisi dipukul mundur oleh massa yang menentang upaya pemadaman api.
Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Pol Susatyo Purnomo Chondro, yang sempat mendekati massa untuk menghentikan aksi tersebut, mengalami kesulitan karena buruh menolak permintaan tersebut.
Situasi semakin memanas hingga polisi akhirnya berhasil memadamkan api dengan menggunakan alat pemadam api ringan (APAR).
Meski demikian, ketegangan kembali muncul saat polisi memadamkan api, dan massa menuntut agar polisi mundur dan memberi ruang untuk melanjutkan aksi mereka.
Di Semarang, ketegangan serupa terjadi saat polisi berusaha membubarkan aksi massa dengan menggunakan water cannon dan kendaraan taktis.
Para demonstran yang menuntut pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja menghadapi perlakuan keras dari aparat.
Amnesty International menilai bahwa tindakan polisi ini merupakan bentuk kekerasan fisik yang tidak sah, serta penangkapan semena-mena terhadap para demonstran.
Wirya Adiwena menegaskan, "Kekerasan fisik serta penyiksaan, penangkapan tanpa alasan jelas, intimidasi, pemeriksaan, dan penggeledahan yang tidak sah, serta serangan terhadap jurnalis dan pekerja medis adalah pelanggaran yang harus dihentikan."
Evaluasi Kepemimpinan Polri
Amnesty International Indonesia menyoroti adanya impunitas yang terus mengakar di tubuh Polri, mengingat tidak ada upaya serius untuk menghukum para pelaku kekerasan, baik di tingkat anggota maupun komando.
Wirya juga mendesak pemerintah, DPR, dan lembaga pengawas untuk segera mengevaluasi kepemimpinan Polri, mengingat praktik represif ini sudah berlangsung cukup lama tanpa ada perubahan yang signifikan.
“Polri harus segera berhenti menggunakan taktik-taktik otoriter dan melakukan investigasi menyeluruh atas semua tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya selama aksi damai Hari Buruh Internasional berlangsung,” ujar Wirya.
Amnesty International juga menuntut agar semua massa aksi yang ditahan segera dibebaskan dan meminta Komisi III DPR untuk menggunakan hak angket atau hak interpelasi guna membuka tabir impunitas di tubuh Polri.
Mereka menyatakan bahwa praktik otoriter yang terus dibiarkan tanpa ada upaya perbaikan harus disikapi secara kritis oleh DPR RI.
Tindakan kekerasan yang terjadi pada aksi May Day 2025 ini semakin mempertegas pentingnya penghormatan terhadap kebebasan berpendapat dan hak untuk berkumpul di Indonesia.
Pemerintah dan aparat kepolisian diharapkan dapat mengevaluasi kebijakan dan praktik mereka untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang lebih lanjut.
Apa pendapat Anda?
Sumber : Jurnalisme.info
0 Komentar