Ketapang,harian62.info -
Polemik pengelolaan proyek di lingkungan Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman & Lingkungan Hidup (Perkim LH) Kabupaten Ketapang memasuki babak baru. Setelah publik berminggu-minggu disuguhi silang klaim, bantahan bertubi-tubi, hingga ancaman langkah hukum, kini giliran suara keras datang dari Ketua DPD Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (AWPI) Kalimantan Barat, Andi Firgi.
Firgi menilai persoalan ini bukan lagi sekadar teknis proyek, melainkan sudah menjadi krisis integritas pejabat publik, terutama terkait gaya komunikasi dan sikap defensif pejabat yang terlibat.
Menurutnya, Kepala Bidang Perkim LH Kabupaten Ketapang yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), lebih memilih melontarkan klarifikasi panjang tanpa membuka data resmi yang menjadi hak publik.
“Kalau memang tidak ada yang disembunyikan, buka saja data proyeknya. Publik butuh transparansi, bukan drama bantahan,” tegas Firgi.
Klarifikasi Tanpa Data Dipertanyakan
Dalam sejumlah pemberitaan, Kabid sekaligus PPK tersebut disebut bahkan berencana membawa persoalan ini ke jalur hukum melalui kuasa hukumnya, dan siap melapor ke kepolisian jika Dewan Pers menyimpulkan adanya unsur pidana.
Bagi Firgi, pola demikian justru memberi kesan resistensi terhadap kritik, bukan penyelesaian persoalan.
“Pejabat publik tidak boleh bersembunyi di balik retorika administratif ketika menyangkut penggunaan uang negara. Transparansi itu kewajiban, bukan opsi tambahan,” ujarnya.
Firgi menyebut bahwa sesuai prinsip UU Keterbukaan Informasi Publik, pejabat yang bekerja sesuai aturan tidak akan ragu membuka dokumen. Sementara mereka yang lebih rajin berargumen ketimbang memberi data, sering kali menunjukkan pola defleksi—upaya mengalihkan perhatian saat argumen substantif melemah.
Sindiran Tajam untuk Kabid Perkim Ketapang
Firgi tak menutupi nada satirnya. Ia menilai gaya komunikasi sang Kabid lebih mencerminkan upaya memoles citra pribadi dibanding memberikan jawaban administratif yang sah.
“Ketika bantahan lebih mudah dikeluarkan daripada dokumen, publik wajar bertanya: apa yang sebenarnya sedang dijaga?” cetusnya.
Ia bahkan mengaku siap jika kritiknya memicu reaksi lanjutan.
“Bisa jadi saya ikut dilaporkan. Tapi catat: jangan pernah bungkam suara kritis.”
Pers Tidak Boleh Dibungkam
Menurut Firgi, pelaporan terhadap kritik berbasis kepentingan publik merupakan bentuk kemunduran etika pemerintahan sekaligus pengingkaran prinsip demokrasi.
“Wartawan tidak boleh tunduk pada kekuasaan, apalagi menjadi agen penjernih nama pejabat yang diduga bermasalah. Pers bukan tentara bayaran narasi,” tegasnya lagi.
Ia memastikan AWPI Kalbar tetap konsisten:
- mengawal isu ini,
- memastikan tidak ada intimidasi terhadap media,
- dan menjaga agar ruang publik tidak dipelintir oleh opini birokrasi.
Integritas Lebih Penting dari Jabatan
“Jika pejabat ingin dihormati, tunjukkan integritas. Jangan alergi terhadap koreksi publik. Demokrasi mati ketika kritik dipidanakan,” tutup Firgi.
Pernyataan ini menjadi pengingat penting bahwa dalam tata kelola pemerintahan, narasi tidak pernah bisa mengalahkan data, dan jabatan tak bisa menggantikan kejujuran. di tengah kabut polemik proyek, suara kritis tetap harus menjadi penuntun publik menuju kebenaran.
(Tim-Red / Harian62 Info)

0 Komentar