Bekasi,harian62.info -
Wali Kota Bekasi Tri Adhianto mencopot Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) berinisial SM di Jaticempaka, Pondok Gede, karena diduga melakukan pungutan liar (pungli).23-Juli-2025.
Setelah dicopot dari jabatannya, SM kini bertugas sebagai guru biasa tanpa jabatan strategis di sekolah tersebut.
"Kepala sekolahnya sudah kami nonjobkan, sudah tidak memegang jabatan, lalu dia sekarang masih sebagai guru," ujar Tri saat dikonfirmasi, Rabu (23/7/2025).
Meski tak lagi mengemban jabatan sebagai kepala sekolah, kinerja SM sebagai guru tetap diawasi pemerintah.
Nantinya, Dinas Pendidikan (Disdik) serta Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) akan melaporkan hasil evaluasi kinerja SM ke Tri secara berjenjang.
"Kepala sekolah yang melaporkan ke Dinas Pendidikan (Disdik), kemudian Disdik melaporkan ke BKPSDM, dan BKPSDM melaporkan kepada wali kota," ujar dia.
Tri juga mengatakan, untuk mengisi kekosongan posisi kepala sekolah, pemerintah akan menunjuk pelaksana tugas (Plt). Namun, sejauh ini belum ada keputusan sosok Plt pengganti SM.
Untuk itu, Tri menginstruksikan BKPSDM segera mengeluarkan surat keputusan mengenai Plt Kepala SDN tersebut.
"Saya minta kepada kepala BKPSDM untuk mengeluarkan surat Plt-nya dan kalau Plt-nya sudah ada nanti Plt-lah yang berhak duduk di tempat dia (kepala sekolah) sekarang, jadi perlu kehati-hatian dan perlu kesabaran," imbuh Tri.
Sebelumnya diberitakan, orangtua murid melapor ke Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, terkait dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan Kepala SDN berinisial SM di wilayah Jaticempaka, Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi.
Saat melaporkan SM pada Senin (21/7/2025), sejumlah orangtua murid memaparkan dugaan pungli dalam bentuk permintaan uang. Di antaranya untuk biaya sampul rapor hingga pembelian alat-alat kelas.
"Beliau ini minta uang sampul rapor, padahal itu sudah termasuk dalam Dana BOS. Keperluan kelas juga kami beli sendiri, tapi dia mengakuinya dan bilang dibeli dari Dana BOS," jelas wali murid bernama Shinta.
Bahkan, setiap menandatangani ijazah, SM disebut mengutip uang Rp 15.000.
"Kalau mau minta tanda tangan ijazah ke beliau itu ada uangnya. Katanya untuk uang capek. Per anak dimintai Rp 15.000," tuturnya.
Shinta menambahkan, persoalan kelengkapan buku pelajaran turut menjadi bagian indikator penyelewengan.
Menurutnya, sejak awal tahun ajaran, buku pelajaran tidak pernah lengkap. Akibatnya, siswa sempat hanya belajar dari catatan guru.
"Anak-anak sempat enggak punya buku, jadi cuma belajar dari catatan guru," imbuhnya.
(Naskah)
0 Komentar